Februari 23, 2009

HUBUNGAN KEPUASAN KERJA DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA

Oleh: Burhanudin

Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra

INTISARI

Hubungan antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja masih menjadi kontroversi dan menarik untuk dikaji lebih lanjut. Riset tentang kepuasan kerja sebaiknya diarahkan untuk menganalisis bagaimana dampak kepuasan kerja terhadap perilaku karyawan di tempat kerja khususnya produktivitas kerja mereka. Kepuasan kerja adalah sikap positif atau negatif seorang karyawan terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan hasil interaksi karyawan dengan lingkungan/tempat kerjanya, sehingga tingkat kepuasan kerja seseorang berbeda-beda. Kepuasan kerja diharapkan mengarah pada pencapaian produktivitas kerja yang tinggi. Salah satu pandangan produktivitas menyatakan bahwa produktivitas kerja adalah perbandingan antara hasil kerja yang dicapai dengan target yang sudah ditentukan. Sementara itu terdapat beberapa pandangan mengenai hubungan antara kepuasan kerja dengan produktivitas yaitu kepuasan kerja menyebabkan produktivitas, kepuasan kerja disebabkan oleh produktivitas, dan tidak ada hubungan diantara keduanya.

Keywords: kepuasan kerja dan produktivitas kerja.

PENDAHULUAN

Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya adalah karyawan. Karyawan merupakan sumberdaya penting yang ikut menentukan maju mundurnya organisasi. Agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif, organisasi dituntut untuk dapat memberikan kepuasan kerja kepada karyawannya. Kepuasan kerja memiliki hubungan dengan job performance: (1) kepuasan kerja berpengaruh pada job performance; (2) job performance berpengaruh pada kepuasan kerja; dan (3) hubungan antara kepuasan kerja dan job performance dimoderasi oleh variabel-variabel lain seperti rewards dan sebagainya (Ivancevich dan Matteson, 2002).

Berdasarkan hubungan antara kepuasan kerja dengan job performance tersebut, maka karyawan yang puas cenderung memiliki produktivitas kerja yang tinggi dan produktivitas kerja akan berdampak pada kepuasan kerja. Kepuasan kerja merupakan hasil persepsi dan interaksi antara karyawan dengan lingkungan kerjanya. Kepuasan kerja dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti upah/gaji, pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, supervisi, coworkers, kondisi kerja, dan keamanan kerja (Ivancevich dan Matteson, 2002).

Kepuasan kerja bersifat individual, sehingga tingkat kepuasan kerja setiap karyawan berbeda-beda (As’ad, 2000). Banyak faktor yang perlu mendapatkan perhatian jika ingin menganalisis kepuasan kerja, seperti sifat pekerjaan, imbalan, lingkungan kerja dan sebagainya. Kepuasan dan ketidakpuasan kerja akan muncul ketika seorang karyawan membandingkan antara kenyataan dan harapan-harapan mereka di tempat kerja (Mathis dan Jackson, 2001). Seorang karyawan akan merasa puas jika faktor-faktor yang berkaitan dengan pekerjaan dan pribadinya terpenuhi dan sebaliknya. Menurut Mangkunegara (2000) secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja: (1) faktor pekerjaan seperti jenis pekerjaan, pangkat/golongan, kesempatan promosi, interaksi di tempat kerja, mutu supervisi dan sebagainya: dan (2) faktor individu karyawan misalnya kemampuan, keterampilan, motivasi, pendidikan, kepribadian, sikap kerja dan sebagainya.

Hubungan antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja merupakan salah satu bidang yang menarik untuk dikaji. Berbagai riset menghasilkan temuan yang berbeda-beda, ada yang menunjukkan hubungan yang positip dan signifikan antara kepuasan kerja dengan produktivitas, ada pula yang tidak. Organisasi yang sukses tidak lepas dengan berbagai upaya atau metode untuk meningkatkan kepuasan karyawannya. Kombinasi berbagai metode dianggap lebih efektif untuk menciptakan kepuasan karyawan yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas kerja mereka, dan juga meningkatkan nilai serta laba perusahaan.

KEPUASAN KERJA

Kepuasan kerja memiliki efek kepada kehidupan organisasi. Kepuasan kerja/job satisfaction adalah sikap/attitudes positif atau negatif yang dimiliki seorang karyawan terhadap pekerjaannya. Sikap ini merupakan hasil persepsi karyawan terhadap pekerjaannya (Greenberg dan Baron, 2000; Ivancevich dan Matteson, 2002). Seorang karyawan yang memiliki tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap pekerjaannya, sedangkan karyawan yang memiliki tingkat kepuasan kerja rendah menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja menunjukkan suatu sikap bukan perilaku (Robbins, 1996).

Menurut Handoko (1995), kepuasan kerja adalah keadaan emosional baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan dimana karyawan memandang pekerjaan mereka. Mathis dan Jackson (2001) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan akan muncul ketika harapan-harapan mereka tidak terpenuhi. Sedangkan menurut As’ad (2000) kepuasan kerja adalah perasaan seorang karyawan terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan hasil interaksi antara karyawan dengan tempat kerja mereka. Setiap individu akan memiliki tingkat keupasan kerja yang berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai yang dianut pada dirinya.

Kepuasan kerja adalah perasaan senang atau emosi positif sebagai hasil persepsi pengalaman selama masa kerja seseorang. Kepuasan kerja berkaitan dengan kondisi masa lalu, bukan masa yang akan datang. Berdasarkan definisi ini ada tiga aspek yang berkaitan dengan kepuasan kerja: (a) kepuasan kerja merupakan fungsi dari nilai-nilai/values apa yang diinginkan individu secara sadar atau tidak untuk diraih; (b) masing-masing karyawan memiliki pandangan yang berbeda tentang nilai mana yang penting dalam menentukan bentuk dan kepuasan kerja; dan (c) persepsi seseorang mengenai keadaan sekarang berhubungan dengan nilai-nilai yang berarti bagi individu. Persepsi seorang karyawan belum tentu merupakan refleksi konkrit yang lengkap mengenai suatu pekerjaan dan masing-masing individu bisa memiliki persepsi yang berbeda terhadap situasi yang sama (Rivai, 2001).

Kepuasan kerja dapat dijelaskan dengan teori motivasi. Teori motivasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu teori kepuasan/content theory dan teori proses/process theory. Teori kepuasan fokus pada faktor-faktor dalam diri individu yang mendorong, mengarahkan, mempertahankan, dan menghentikan perilakunya, sedangkan teori proses menjelaskan dan menganalisis bagaimana perilaku didorong, diarahkan, dipertahankan, dan dihentikan. Dalam tulisan ini teori kepuasan yang digunakan sebagai acuan adalah teori dua faktor/two factor theory, discrepancy theory, teori pengharapan, dan teori keadilan/equity theory.

Two Factor Theory

Teori ini dikembangkan oleh Frederick Herzberg, seorang ahli psikologi dan konsultan manajemen. Herzberg melakukan penelitian untuk menguji teori ini dengan melibatkan 200 orang akuntan dan insinyur. Riset awal Herzberg menghasilkan 2 kesimpulan, yaitu (Gibson, Ivancevich, dan Donnelly, 1996):

a. Ada sejumlah faktor ekstrinsik yang terdiri dari salary, keamanan kerja, kondisi kerja, status, prosedur perusahaan, quality of technical supervision, dan kualitas hubungan interpersonal diantara rekan sekerja, atasan, dan bawahan. Keberadaan kondisi tersebut belum tentu dapat memotivasi, tetapi bila tidak ada menyebabkan ketidakpuasan karyawan karena mereka perlu mempertahankan paling tidak suatu tingkat tidak ada kepuasan. Kondisi ini disebut sebagai faktor higienes atau ketidakpuasan. Karyawan cenderung tidak puas apabila faktor-faktor ini dirasa tidak mencukupi.

b. Ada sejumlah faktor intrinsik yang terdiri dari achievement, recognition, responsibility, advancement, pekerjaan itu sendiri, dan kemungkinan berkembang, kondisi ini apabila ada akan memberikan motivasi bagi karyawan. Kondisi ini disebut sebagai faktor pemuas atau motivator.

Herzberg beranggapan bahwa kepuasan kerja bukan suatu konsep satu dimensi/not a unidimentional consept. Hasil risetnya memberikan petunjuk bahwa dibutuhkan dua continua untuk menginterpretasikan kepuasan kerja. Teori Herzberg tidak lepas dari berbagai kritikan. Kritik terhadap teori Herzberg antara lain yaitu (Gibson, Ivancevich, dan Donnelly, 1996):

1) Sampel yang digunakan dalam riset Herzberg terbatas hanya pada insinyur dan akuntan saja, sehingga tidak dapat digeneralisir pada kelompok pekerjaan yang lain. Latar belakang, lingkungan dan teknologi antara insinyur dan akuntan berbeda dengan kelompok pada pekerjaan lainnya.

2) Hasil riset Herzberg terlalu menyederhanakan masalah kepuasan kerja. Seorang manager diasumsikan dapat membantu menghasilkan kepuasan kerja. Kepuasan kerja merupakan sesuatu yang kompleks dan sulit tidak bisa hanya dengan mengubah tempat kerja.

3) Metodhology riset Herzberg mengharuskan orang melihat dirinya sendiri secara restrospektif, padahal tidak semua orang dapat mengetahui semua hal yang dapat memotivasi atau tidak memuaskan mereka. Kritik ini percaya bahwa ada faktor-faktor bawah sadar yang tidak teridentifikasi dalam riset Herzberg.

4) Teori Herzberg sedikit perhatian yang diarahkan untuk menguji implikasi motivasional dan prestasi kerja. Herzberg tidak memberikan penjelasan mengapa berbagai faktor intrinsik dan ekstrinsik dapat mempengaruhi prestasi kerja. Teori ini juga tidak menjelaskan mengapa berbagai faktor-faktor kerja dianggap penting.

Hasil riset Herzberg menyarankan bahwa kompensasi (gaji) dan kondisi kerja harus memadai untuk menjaga karyawan agar merasa puas. Karyawan akan tidak puas apabila faktor-faktor higienes/ekstrinsik ini dirasakan tidak mencukupi dan karyawan merasa puas apabila faktor-faktor motivasional/intrinsik ini diberikan kepada karyawan. Kepuasan kerja pada gilirannya akan memotivasi karyawan untuk bekerja lebih produktif (Madura, 2001).

Discrepancy Theory

Teori ini dsebut juga teori perbedaan (Mangkunegara, 2000). Teori ini dikembangkan oleh Porter, yang mengukur kepuasan kerja seorang karyawan dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan apa yang dipersepsikan. Jika yang diperoleh lebih besar daripada apa yang diinginkan, karyawan akan puas meskipun terdapat discrepancy, tetapi discrepancy ini positif. Sebaliknya apabila yang diperoleh jauh dari standar minimum yang diharapkan, maka karyawan tidak puas karena terjadi discrepancy negatif. Oleh sebab itu sikap karyawan terhadap pekerjaannya tergantung pada bagaimana discrepancy tersebut dipersepsikannya (As’ad, 2000).

Teori Pengharapan/Expectancy Theory

Salah satu teori motivasi yang memberikan penjelasan paling luas dan diterima baik adalah teori pengharapan/expectancy theory dari Victor Vroom (Robbins, 1996). Ada tiga konsep yang dijadikan building blocks dalam teori pengharapan yaitu: (1) performance-outcome expectancy. Individu percaya bahwa jika mereka berperilaku tertentu, maka mereka akan mendapatkan sesuatu yang tertentu pula; (2) valence. Setiap outcome memiliki sebuah nilai/valence bagi individu tertentu. Outcome memiliki valence yang berbeda-beda bagi setiap orang; dan (3) effort-performance expectancy. Expectancy merepresentasikan persepsi individu tentang seberapa keras usaha untuk mencapai suatu perilaku dan kemungkinan sukses yang akan dicapai dari perilaku tersebut.

Secara umum motivasi untuk berusaha berperilaku dalam cara tertentu akan paling tinggi apabila: (a) individu percaya bahwa perilaku tersebut akan memberikan outcomes (performance-outcomes expectancy); (b) individu percaya bahwa outcomes tersebut memiliki nilai positip bagi dirinya (valence); dan (c) individu percaya bahwa mereka akan dapat mencapai performance pada tingkat yang diinginkan (effort performance expectancy).

Gambar 1. The Basic Motivation-BehaviorSequence


Sumber: Nadler dan Lawler III (1977)

A person’s motivation is a function of:

a) Effort-to-performance expectancies. Usaha untuk mencapai performance yang diharapkan.

b) Performance-to-outcome expectancies. Performance pada hasil yang diharapkan.

c) Perceived valence of outcomes. Nilai yang diharapkan dari hasil.

Berdasarkan gambar tersebut tampak bahwa motivasi dipengaruhi oleh usaha/effort individu dalam bekerja, apabila usaha ini digabung dengan kemampuan/ability maka akan membentuk performance yang hasilnya berupa rewards. Outcomes/rewards dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu: (1) outcomes yang dihasilkan oleh individu dari lingkungan. Apabila individu berkinerja pada level yang sudah ditentukan, ia dapat menerima outcomes positip atau negatip dari atasannya/supervisors, coworkers, organisasi, atau dari sumber-sumber lain; dan (2) outcomes yang dihasilkan oleh individu itu sendiri, artinya performance tersebut memang betul-betul berasal dari performance individu itu sendiri, lingkungan tidak memberikannya secara langsung.

Menurut Nadler dan Lawler III (1977), motivasi seseorang untuk mencapai performance tertentu tergantung pada persepsinya antara asosiasi actions dan outcomes. Persepsi tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut:

1. The effort to performance expectancy (E Ú P).

2. The performance to outcomes expectancy ( P Ú O) dan valence (V).

3. Instrumentally.

4. Intrinsic and extrinsic outcomes.

Expectancy theory ini merupakan salah satu pendekatan baru dalam memotivasi karyawan. Theory ini didasarkan pada sejumlah asumsi yang berkaitan dengan perilaku dalam organisasi yaitu:

a. Perilaku ditentukan oleh kombinasi dari kekuatan individu dan lingkungan.

b. Orang-orang membuat keputusan tentang perilaku mereka sendiri dalam organisasi.

c. Perbedaan orang-orang mempunyai perbedaan tipe dari kebutuhan, keinginan, dan tujuan.

d. Orang-orang membuat keputusan diantara rencana alternatif dari perilaku didasarkan pada persepsi mereka (harapan/expectancies) dari tingkat dimana memberikan perilaku yang akan menuju pada outcomes yang diingankan.

Oleh sebab itu motivasi tergantung pada situasi dimana mereka dan bagaimana mereka mengkaitkan dengan kebutuhan. Adapun implikasi yang dapat dilakukan oleh manager :

1) Tentukan jenis outcomes atau rewards yang memiliki valensi bagi pekerja.

2) Tentukan jenis perilaku yang diinginkan.

3) Tentukan level yang diinginkan dari performance yang dapat dicapai.

4) Hubungkan keinginan outcomes ke performance yang diinginkan.

5) Analisis total situasi pada expectancies yang bertentangan.

6) Buat perubahan dalam outcomes cukup besar.

7) Cek sistem untuk keadilan.

Sedangkan implikasi untuk organisasi adalah, design dari upah dan sistem rewards, design peran, tugas, dan pekerjaan, pentingnya struktur kelompok, peran supervisor, pengukuran motivasi dan individualizing organizations.

Equity Theory

Teori ini dikemukakan oleh J. Stacy Adam, yang esensinya bahwa karyawan akan membandingkan usaha/efforts dan imbalan/rewards dengan orang lain dalam situasi kerja yang sama (Ivancevich & Matteson, 2002). Karyawan akan membandingkan antara masukan dan keluaran pekerjaan mereka dengan masukan dan keluaran orang lain, kemudian merespon untuk menghilangkan setiap ketidakadilan. Karyawan mungkin akan membandingkan diri mereka dengan teman-teman, tetangga, rekan sekerja, rekan pada organisasi lain, atau pekerjaan masa lalu yang mereka lakukan (Robbins, 1996). Perbandingan ini berdasarkan persepsi masing-masing individu dan bersifat personal (Mathis dan Jackson, 2001).

Teori keadilan didasarkan pada asumsi bahwa setiap individu dimotivasi oleh suatu keinginan untuk diperlakukan adil di pekerjaan. Individu bekerja untuk mendapatkan rewards dari organisasi. Ada empat ukuran penting dalam teori ini (Ivancevich & Matteson, 2002):

a) Person. Individu yang merasa diperlakukan adil atau tidak adil.

b) Comparison other. Setiap individu/person atau kelompok/group yang digunakan oleh seseorang sebagai pembanding rasio inputs dan outcomes.

c) Inputs. Karakteristik individu yang dibawa ke dalam pekerjaan, misalnya skills, experience, learning, umur, sex, dan race.

d) Outcomes. Sesuatu yang diterima oleh seseorang dari pekerjaannya, seperti recognition, fringe benefit, dan pay.

Karyawan merasa adil jika menganggap bahwa rasio inputs mereka terhadap outcomes sepadan dengan rasio dari karyawan lainnya. Ketidakadilan akan terjadi apabila rasio antara inputs dengan outcomes lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan yang lainnya. Apabila karyawan merasa diperlakukan tidak adil, maka mereka dapat memilih alternatif berikut ini (Robbins, 1996):

1) Mengubah inputs, misalnya tidak melakukan banyak upaya.

2) Mengubah outcomes, misalnya karyawan yang dibayar berdasarkan hasil produksinya, mereka dapat meningkatkan kuantitas hasil produksinya.

3) Mendistorsi persepsi mengenai dirinya.

4) Mendistorsi persepsi mengenai orang lain.

5) Memilih suatu acuan yang berbeda.

6) Meninggalkan pekerjaan atau berhenti bekerja.

Teori keadilan beranggapan bahwa kepuasan karyawan tergantung pada layak tidaknya kompensasi yang diterimanya. Perbedaan persepsi karyawan terhadap kompensasi menjadikan manager kesulitan untuk menentukan kompensasi yang layak bagi karyawannya (Madura, 2001). Karyawan ingin diperlakukan adil dalam semua aspek kompensasi baik kompensasi langsung maupun tidak langsung.

Teori keadilan sebaiknya fokus pada keadilan distibutif maupun prosedural. Keadilan distibutif seringkali memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kepuasan karyawan daripada keadilan prosedural. Sedangkan keadilan prosedural lebih lebih banyak berpengaruh pada komitmen organisasi, mempercayai atasannya, dan maksud untuk berhenti. Dengan meningkatkan persepsi keadilan prosedural, diharapkan karyawan akan memandang atasan atau orgnaisasi mereka secara positif (Robbins, 1996).

Secara umum individu ingin diperlakukan secara adil dalam segala aspek kompensasi, baik itu gaji pokok, insentif, maupun tunjangan-tunjangan. Individu akan membandingkan antara inputs yang dia berikan kepada organisasi dengan outcomes yang dia terima dari organisasi. Persepsi ketidakadilan muncul ketika proses membandingkan ini menghasilkan suatu ketidakseimbangan antara inputs dan outcomes (Mathis dan Jackson, 2001). Kepuasan tergantung pada persepsi keadilan/equity dan ketidakadilan/inequity terhadap suatu situasi.

PRODUKTIVITAS KERJA

Masalah produktivitas kerja merupakan salah satu aspek penting yang menjadi perhatian utama sebagian besar organisasi/perusahaan. Produktivitas mencerminkan efisiensi dan efektivitas sebuah organisasi. Produktivitas adalah hasil penjumlahan antara efisiensi dan efektivitas (produktivitas = efisiensi + efektivitas). Efisiensi menggambarkan bagaimana kita mencampur berbagai sumberdaya yang dimiliki secara tepat dan benar/how do we mix various resources properly, sedangkan efektivitas menggambarkan sejauhmana kita mencapai goal/how far we achieve the goal. Efisiensi dan efektivitas yang tinggi akan menghasilkan produktivitas yang tinggi pula. Pendapat lain menyatakan bahwa produktivitas merupakan fungsi dari efisiensi dan efektivitas, yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Atmosoeprapto, 2001):

P = f (E, I)

P = Produktivitas

E = Efektivitas pencapaian goal

I = Efisiensi penggunaan input.

Efisiensi dan efektivitas yang tinggi cenderung akan menghasilkan produktivitas yang tinggi pula. Sebaliknya apabila terjadi efisiensi dan efektivitas yang rendah kemungkinan ada kesalahan dalam pengelolaan organisasi, sehingga perlu dicari penyebab dan solusinya. Apabila efektivitas tinggi dan efisiensi rendah kemungkinan terjadi pemborosan, sebaliknya apabila terjadi efisiensi tinggi dan efektivitas rendah kemungkinan goal tidak akan tercapai. Oleh sebab itu organisasi atau perusahaan perlu memperbaiki produktivitas kerja para karyawannya.

Perbaikan produktivitas akan berdampak pada pelayanan yang semakin responsif, meningkatkan cash flow, memperluas pengembangan usaha, dan meningkatkan laba. Perbaikan produktivitas juga memungkinkan organisasi semakin kompetitif di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat. Menurut “the national center productivity and quality of working life” yang dikutip oleh Atmosoeprapto (2001), perbaikan produktivitas membutuhkan: (a) dukungan dari manajemen puncak; (b) pengakuan dari peran kunci karyawan; (c) pengertian dari semua jenjang dalam organisasi akan maksud dan tujuan perbaikan produktivitas; (d) mengembangkan sasaran dan tolok ukur untuk mengetahui pencapaian sasaran/goal; dan (e) perbaikan dalam productivity sought tanpa mengganggu kerja.

Menurut pandangan filosofis, produktivitas kerja dapat didefinisikan sebagai suatu pandangan hidup dan sikap mental yang selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan, dengan semboyan “mutu kehidupan hari ini harus lebih baik darpadai kemarin, dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini”. Pandangan dan sikap mental tersebut diharapkan dapat memberikan motivasi bagi karyawan untuk meningkatkan produktivitas kerjanya.

Sementara itu menurut pandangan ekonomi, produktivitas merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai/output dengan masukan/input yang digunakan persatuan waktu tertentu. Produktivitas adalah rasio antara output dengan input. Input terdiri dari bahan baku, energi, tenaga kerja, dan peralatan modal, sedangkan output adalah volume/kuantitas dan kualitas. Produktivitas menurut pengertian ini tidak hanya dilihat dari segi kuantitas tetapi juga kualitas harus sesuai dengan setandar yang sudah ditetapkan. Jadi produktivitas adalah perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran tenaga kerja persatuan waktu tertentu (Atmosoeprapto, 2001; Lantum, 1996).

Pengukuran produktivitas dapat dilakukan dengan tiga jenis pendekatan: (1) perbandingan antara pelaksanaan kerja sekarang dengan pelaksanaan historis yang tidak menunjukkan apakah pelaksanaan kerja sekarang memuaskan, tetapi hanya menjelaskan meningkat atau berkurang tingkatannya; (2) perbandingan antara pelaksanaan satu unit (perorangan, tugas, seksi, dan proses) dengan lainnya yang menunjukkan pencapaian relatif; dan (3) perbandingan antara pelaksanaan sekarang dengan target yang sudah ditetapkan, dan ini yang dianggap terbaik sebagai fokus perhatian produktivitas kerja (Sinungan, 1995).

Produktivitas merupakan keberhasilan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan, menurut ukuran yang berlaku pada pekerjaan yang bersangkutan. Pengertian produktivitas berkaitan dengan sesuatu yang dihasilkan seseorang dari perilaku kerjanya. Menurut Klingner dan Nanbaldian yang dikutip oleh Gomes (1995), menyatakan produktivitas adalah merupakan fungsi perkalian antara usaha karyawan yang didukung oleh motivasi/motivation yang tinggi dengan kemampuan/ability karyawan yang diperoleh melalui pelatihan-pelatihan. Produktivitas yang meningkat berarti ada peningkatan prestasi kerja yang pada gilirannya akan menjadi feedback bagi usaha atau motivasi karyawan pada tahap selanjutnya.

Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (1996) menyatakan bahwa perilaku karyawan termasuk prestasi kerjanya adalah fungsi dari perkalian antara variabel individu (I), organisasi (O), dan psikologi (P). Variabel individu meliputi kemampuan/ability dan keterampilan/skill, latar belakang, dan demografis. Variabel organisasi terdiri atas sunberdaya, kepemimpinan, imbalan, struktur organisasi, dan desain pekerjaan. Sedangkan variabel psikologi mencakup persepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan motivasi.

Produktivitas juga dipengaruhi oleh tujuan yang ingin dicapai oleh seorang karyawan. Karyawan tidak akan termotivasi untuk mencapai produktivitas yang tinggi apabila harapan tidak realitis dan sulit dicapai. Apabila karyawan didorong untuk berupaya mencapai tujuan yang tidak realistis, mereka akhirnya hanya akan berhenti mencoba dan lebih suka mencapai hasil yang lebih rendah daripada yang sebenarnya dapat mereka capai. Tujuan sebaiknya ditetapkan cukup tinggi agar ada upaya keras untuk mencapai, tetapi jangan terlalu tinggi sehingga sulit dicapai. Oleh sebab itu penetapan tujuan sebaiknya merupakan kesepakatan antara karyawan derngan pimpinan (Rohani, 1998).

Hal ini sesuai dengan pendapat Mannulang (1985) yang menyatakan bahwa apabila tujuan pribadi/karyawan dengan tujuan organisasi dapat terintegrasi dengan baik, maka produktivitas tinggi akan bisa tercapai. Terwujudnya tujuan karyawan dan tujuan organisasi akan menghasilkan produktivitas dan moral yang tinggi dalam diri karyawan. Moral yang tinggi cenderung akan menghasilkan motivasi yang tinggi pula. Sebaliknya apabila tujuan karyawan bertentangan dengan tujuan pimpinan organisasi, maka produktivitas akan rendah atau bahkan cenderung menurun.

HUBUNGAN KEPUASAN KERJA DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA

Hubungan antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja karyawan masih menjadi perdebatan/controversy baik di dunia akademik maupun dunia kerja. Sebagian berpendapat bahwa kepuasan kerja menimbulkan produktivitas dan sebaliknya ada yang beranggapan bahwa produktivitas menimbulkan kepuasan kerja. Handoko (1995) mengibaratkan kontroversi ini seperti kasus antara telur dengan ayam, mana yang muncul lebih dahulu. Hubungan antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja adalah suatu sistem yang berlanjut/continuous. Terlepas dari pendapat tersebut, kepuasan kerja memiliki peran/arti penting baik bagi karyawan maupun organisasi karena dianggap dapat menciptakan kondisi yang positip dalam lingkungan kerja.

Secara umum karyawan yang puas cenderung akan lebih produktif daripada mereka yang tidak/kurang puas. Dalam berbagai literatur maupun penelitian memberikan petunjuk bahwa terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan produktivitas kerja karyawan, sehingga pihak menajemen organisasi/perusahaan berusaha untuk memahami berbagai faktor yang menimbulkan adanya kepuasan kerja. Meskipun hubungan kepuasan kerja dan produktivitas tidak selalu konsisten, tetapi masalah ini tetap perlu mendapatkan perhatian dari organisasi.

Menurut Robbins (1996) pandangan mengenai hubungan antara kepuasan kerja dengan produktivitas didasarkan pada suatu asumsi bahwa karyawan yang merasa dirinya bahagia adalah karyawan yang produktif. Asumsi ini sulit dibuktikan di lapangan, karena banyak karyawan yang tidak puas tetapi mereka tetap produktif, misalnya saja karyawan-karyawan yang bekerjanya dikendalikan oleh mesin-mesin. Apabila ada hubungan antara kepuasan kerja dan produktivitas korelasinya relatif kecil , dan hubungan itu lebih kuat apabila perilaku karyawan tidak dikendalikan oleh faktor-faktor dari luar. Korelasi kepuasan kerja dengan produktivitas lebih akurat bagi karyawan yang memiliki posisi lebih tinggi seperti posisi profesional, manager atau supervisor.

Hubungan antara produktivitas dan kepuasan kerja juga belum mendapatkan dukungan yang kuat. Sekitar 20 hasil studi mengenai hubungan antara prestasi dan kepuasan kerja, masih menemukan korelasi yang lemah. Karyawan yang puas tidak selalu menghasilkan produktivitas yang lebih baik. Kebijaksanaan manager untuk meningkatkan kepuasan tidak selalu menghasilkan produktivitas kerja yang tinggi. Jadi adanya asumsi bahwa karyawan yang memiliki prestasi kerja yang tinggi adalah mereka yang terpuaskan tidak didukung dalam riset ini. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara kepuasan dan produktivitas kerja dan sebaliknya, belum mendapat dukungan yang kuat. Ada tiga pandangan mengenai hubungan antara kepuasan kerja dengan produktivitas: (1) kepuasan menyebabkan produktivitas; (2) kepuasan kerja disebabkan oleh produktivitas; dan (3) tidak ada hubungan antar kepuasan dengan produktivitas kerja (Gibson, Ivancevich, dan Donnelly, 1996).

Salah satu hasil penelitian Wicaksono yang dikutip oleh As’ad (2000), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positip dan signifikan antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja. Hal ini menunjukkan bahwa, secara umum kepuasan memiliki hubungan dengan produktivitas kerja karyawan. Menurut Mathis dan Jackson (2001) pengaruh kepuasan terhadap komitmen organisasi akan berdampak pada produktivitas, kualitas, dan pelayanan. Bagi manajemen organisasi tetap penting untuk mengusahakan hubungan yang positip antara kepuasan dengan produktivitas kerja, meskipun hal ini tidak mudah (Siagian, 1997). Menurut Robbins (1996) apabila data kepuasan dan produktivitas semua organisasi dikumpulkan secara keseluruhan, menunjukkan bahwa organisasi dengan karyawan yang terpuaskan lebih efektif daripada organisasi dengan karyawan yang kurang terpuaskan. Untuk itu penelitian/studi lebih lanjut sangat dianjurkan untuk menganalisis hubungan antara kepuasan dengan produktivitas kerja.

KESIMPULAN

Hubungan antara kepuasan dengan produktivitas kerja masih menjadi kontroversi dan merupakan bidang yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Berbagai riset telah dilakukan dengan hasil yang beragam. Kepuasan kerja adalah sikap/attitudes positif atau negatif yang dimiliki seorang karyawan terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja bersifat individual sehingga kepuasan kerja setiap orang berbeda-beda. Kepuasan kerja dapat dijelaskan dengan teori motivasi antara lain teori dua faktor, discrepancy theory, teori pengharapan, dan teori keadilan/equity theory.

Ada berbagai pandangan mengenai produktivitas. Pandangan tersebut antara lain, produktivitas merupakan rasio antara output dengan input, produktivitas adalah hasil dari penjumlahan antara efesiensi dengan efektivitas, dan produktivitas merupakan fungsi dari efesiensi dan efentivitas. Pandangan lain menyatakan bahwa produktivitas adalah perbandingan antara hasil yang dicapai dengan target/standar yang sudah ditetapkan. Karyawan dinyatakan produktif apabila dapat mencapai atau melebihi target tersebut.

Sementara itu terdapat berbagai pendapat mengenai hubungan antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja, yaitu kepuasan menimbukan produktivitas, produktivitas menyebabkan kepuasan, dan antara kepuasan dan produktivitas tidak ada hubungannya. Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai masalah ini, ada beberapa literatur atau riset yang masih menemukan bahwa terdapat hubungan antara kepuasan dengan produktivitas kerja. Untuk itu berbagai riset atau kajian mengenai masalah ini perlu dilakukan.

DAFTAR LITERATUR

As’ad, Moh. (2000), Psikologi Industri: Seri Ilmu Sumberdaya Manusia, Edisi 4, Yogyakarta: Liberty

Atmosoeprapto, Kisdarto (2001), Produktivitas Aktualisasi Budaya Perusahaan, Jakarta: Elex Media Komputindo

Gibson, Ivencevich, & Donnelly (1996), Organisasi, Edisi Kedelapan, Jilid I, Terjemahan, Jakarta: Binarupa Aksara

Gomes, Faustino Cardoso (2000), Manajemen Sumber Daya Manusia, Cetakan Keempat, Andi Offset, Yogyakarta

Greenberg, Jerald & Baron, Robert A. (2000), Behavior in Organizations: Understanding and Managing the Human Side of Work, 8th ed., Singapore: Prentice-Hall International, Inc.

Handoko, Hani T. (1995), Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia, Edisi 2, Yogyakarta: BPFE

Ivancevich, John M. & Matteson, Michael T. (2002), Organizational Behavior and Management, 6th ed., New York: McGraw-Hill

Lantum, Alex Kahu, (1996), “Pengembangan Sumberdaya Manusia Dalam Peningkatan Produktivitas”, Kajian Bisnis, STIE Widya Wiwaha, Yogyakarta

Madura, Jeff (2001), Pengantar Bisnis, Buku 2, Terjemahan, Jakarta: Salemba Empat

Mannulang, M. (1985), Manajemen Sumberdaya Manusia, Yogyakarta: Andi

Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu (2000), Manajemen Sumberdaya Manusia Perusahaan, Remaja Rosdakarya, Bandung

Mathis, Robert L. & Jackson, John H. (2001), Manajemen Sumberdaya Manusia, Buku I, Terjemahan, Jakarta: Salemba Empat

Rivai, Harif Amali (2001), “Pengaruh Kepuasan Gaji, Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasional terhadap Intensi Keluar,” Tesis, Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM

Robbins, Stepen P. (1996), Perilaku Organisasi: Konsep-Kontroversi-Aplikasi, Jilid I, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Prenhallindo

Rohani, Siti Zakiah (1998),”Analisis Faktor-Faktor Motivasi dengan Tingkat Produktivitas Dokter Hewan yang Bekerja sebagai Petugas Pelayanan Teknis (Technical Service) pada Perusahaan-perusahaan Swasta di DIY dan Jawa Tengah”, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan UGM

Siagian, Sondang P. (1997), Manajemen Sumberdaya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara

Simamora, Henry (2004), Manajemen Sumberdaya Manusia, Edisi 3, Yogyakarta: Bagian Penerbit STIE YKPN

Sinungan, M. (1995), Produltivitas: Apa dan Bagaimana, Jakarta: Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Pengikut